search

Selasa, 06 Juli 2010

makalah asbab wurud al-hadits

2.1 Pengertian Asbab Wurud Al Hadits
Kata Asbab adalah bentuk jamak dari kata Sabab (Arab: Asbab = sebab). Menurut ahli bahasa diartikan dengan “Al Habl” (tali) yang menurut lisan arab berarti “saluran” yang artinya segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda yang lainnya. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.
Ada juga yang mendefinisikan dengan, “jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukm itu.”
Adapun arti wurud (sampai, muncul) adalah sebagai berikut:
Para ahli mengatakan bahwa al-wurud berarti “air yang memancar, atau air yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuthi memaparkan pengertian asbab wurud al-hadits dengan, “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan, dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayad, dinasakhkan, dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al hadits seperti di atas, dapat disimpulkan pengertian ilmu Asbab Wurud Al Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Rasulullah SAW menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW tentang suci dan mensucikannya air laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” . Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah ketika seorang sahabat yang sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan untuk berwudhu.
Urgensi Asbab Wurud Al Hadits terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi Asbab Nuzul Al Qur’an terhadap Al Qur’an. Penting diketahui, karena ilmu ini menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu Asbabu Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
Tidak semua hadits mempunyai asbabul wurud, sebagian hadits ada yang mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas na.mun sebagain lainnya tidak. Untuk kategori pertama mengetahui asbabul wurud mutlak di perlukan agar terhindar dari kesalafahaman dalam menangkap maksud hadits .

2.2 Faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits
Dari definisi yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits,.yakni membatasi arti suatu nash hadits dalam segi-segi berikut ini:
a. Takhshish al-’ Am (Mentakhsiskan (mengkhususkan) arti yang umum)
Ini terlihat dalam hadits dibawah ini:
“Pahala orang yang shalat dengan duduk, setengah dari shalat orang yang berdiri”.
Makna yang terkandung dalam hadits ini bersifat umum, untuk semua orang yang shalat. Padahal kalau kita lihat sebab-sebab lahirnya hadits tersebut melalui riwayat ‘Abdullah Ibnu ‘Umar yang artinya:
“Kami memasuki kota Madinah, dan secara mendadak kami diserang perasaan letih yang demikian hebat. Maka sebagian besar dari kami shalat di tempat shalat kami masing-masing dengan duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah SAW di terik matahari yang menyengat itu, sementara orang-orang tetap shalat ditempatnya masing-masing dengan duduk. Lalu beliau pun bersabda: “Pahala orang yang shalat dengan duduk setengah dari pahala orang yang shalat dengan berdiri.”
Dari hadits ini jelas bahwa hadits tersebut mengandung maksud khas yang ditujukan kepada mereka yang mampu berdiri.
Sejalan dengan itu, ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Samurah, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat dengan duduk hanya disaat menjelang wafat beliau”.
Hal serupa itu, kita temukan pula pada hadits Nabi yang berkenaan dengan pelarangan beliau terhadap menyewakan ladang-ladang, yang kalau tidak telusuri sebab-sebab munculnya hadits ini, niscaya kita tetap menetapkan hukum umum pada hadits tersebut, dan ini pasti akan membuat susah semua orang.
Hadits yang dimaksud diatas, adalah diriwayatkan oleh Ahmad dari Urwah Ibn az-Zubair, ia berkata:
Zaid bin Tsabit berkata: Semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khudaij, saya, Demi Allah, adalah orang yang lebih tahu tentang hadits itu. Sesungguhnya telah datang dua orang yang habis berkelahi kepada Rasulullah SAW. Maka beliau pun lalu berkata: “Kalau demikian kalian, maka janganlah kalian menyewakan ladang-ladang”.
b. Taqyid al-Muthlaq (Membatasi arti yang mutlak)
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut:
“Barangsiapa merintis perbuatan yang baik, lalu diamalkannya, dan diamalkan oleh orang-orang yang sesudahnya, maka ia akan memperoleh pahala untuk itu, ditambah pula dengan pahala orang-orang yang mengamalkan sunahnya itu sesudah ia, tanpa dikurangi barang sedikit pun. Dan barangsiapa merintis perbuatan jahat, lalu ia kerjakan, dan dikerjakan pula oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan memperoleh dosa untuk itu, ditambah dengan dosa-dosa yang melakukan perbuatan itu sesudahnya, tanpa dikurangi sedikit pun.
“Sunnah” (perbuatan) yang dimaksud hadits tersebut di atas, baik sifatnya baik maupun buruk, adalah bersifat mutlak, mencakup perbuatan-perbuatan yang memiliki nash landasan hukum dalam ajaran agama dan yang tidak ada landasan hukumnya. Lalu sebab-sebab munculnya hadits ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “sunnah”(perbuatan) dalam hadits tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang ada nash-nya dalam Islam.

c. Tafshil al-Mujmal (Merinci yang mujmal (global))
Ini dapat ditemukan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada Bilal agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqomah (qamat).
Manthuq(redaksi) hadits ini tidak sesuai dengan kesepakatan para ulama tentang jumlah takbir yang empat kali, dan dua kali dalam iqamat.
Akan tetapi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini yang diperoleh dari riwayat Abu Daud dalam sunan-nya, dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits ‘Abdullah bin Zaid maka menjadi jelaslah persoalannya.
Jadi setelah kita temukan sebab-sebab munculnya hadits ini, nyatalah bahwa kandungan artinya bersifat mujmal (global), serta menunjukkan prinsip yang dipegangi para ulama, dalam pandangan mereka tentang mengulang takbir empat kali dalam adzan, dan dua kali dalam iqamat.


d. Menentukan persoalan “naskh” dan menjelaskan nasikh dan mansukh
Hal seperti ini ditemukan dalam hadits sebagai berikut:
“Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Tentang hadits tersebut di atas, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadits ini dihapus (mansukh) oleh hadits lain yang diterima dari Aisyah yang menyatakan bahwasanya Rasulullah SAW shalat bersama kaum Muslimin pada saat beliau sakit menjelang wafatnya dengan duduk, sedangkan kaum Muslimin shalat dengan berdiri”.
Padahal Asbab Wurud Hadits ini jelas meniadakan hukum naskh (penidakberlakuan) pada hadits tersebut.
Imam Muslim dalam Shahih-nya mengeluarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas, ia berkata: “Nabi SAW terjatuh dari kudanya sehingga terkelupas kulit betis beliau yang sebelah kanan. Kami lalu menjenguk beliau dan waktu shalat pun tiba. Maka beliau lalu mengimami shalat bersama kami dengan duduk, sedangkan kami tetap shalat dengan duduk pula. Dan seusai shalat, beliau bersabda:
“Sesungguhnya Imam itu untuk diikuti, oleh sebab itu janganlah kamu sekalian mendahuluinya. Jika ia takbir, maka takbirlah kamu sekalian, dan jika ia ruku’,ruku’ pulalah kalian. Dan manakala ia megucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka ucapkanlah:” Allahumma Rabbana lakal hamd”. Lalu jika ia sujud, maka sujudlah kamu sekalian, dan kalau ia shalat dengan duduk, maka shalat pulalah kamu sekalian dengan duduk”.
Dengan tiada naskh ini, maka berlaku pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mempertemukan dua hadits tersebut dengan mengemukakan dua alternatif berikut:
Pertama : Manakala imam yang biasa diikuti itu memulai shalatnya dengan duduk lantaran sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka saat itu makmum harus shalat dengan duduk.
Kedua : Kalau imam yang diikuti itu sejak semula shalat dengan berdiri, baik dalam kenyataannya nanti ia shalat dengan duduk ataukah berdiri, lantaran sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya seperti yang terdapat dalam hadits yang berkenaan dengan sakit beliau menjelang wafatnya. Ketetapan yang diberikan oleh Rasulullah SAW agar para sahabatnya tetap shalat dengan berdiri di saat beliau sakit menjelang wafatnya itu, membuktikan bahwa Nabi tidak memerintahkan mereka shalat dengan duduk, sebab saat itu Abu Bakar memulai shalatnya dengan berdiri, yang berbeda dengan situasi yang terdapat dalam hadits pertama dimana shalat itu dimulai dengan duduk, yang karena itu pula di saat para sahabat shalat dengan berdiri, beliau pun melarangnya.
Sejalan dengan itu, asy-Syaukani menegaskan pendapatnya dengan mengatakan:
“Mempertemukan kedua hadits itu (al-jam’u)menguatkan pendapat bahwa secara prinsipil tidak ada naskh disini, apalagi dalam keadaan ini diberlakukan dua kali naskh, sebab dalam prinsipnya seorang yang mampu shalat sambil berdiri tidak dibenarkan shalat dengan duduk. Pendapat di atas telah menidakberlakukan shalat makmum yang duduk di belakang imam yang duduk, lalu sesudah itu, ia dinaskh pula dengan hadits lain yang melarang shalat dengan duduk, sehingga terjadi dua kali penidakberlakuan, dan ini jelas tidak mungkin bisa diterima.
e. Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Hal seperti ini dapat ditemukan misalnya dalam hadits yang berkenaan dengan pelarangan Rasulullah SAW terhadap minum air langsung dari mulut bejana.
Adapun sebabnya adalah : Suatu saat disampaikan kepada Rasulullah bahwa ada seorang laki-laki minum langsung dari mulut bejana, lalu ia pun sakit perut (mules-mules). Maka beliau pun lalu melarang minum langsung dari mulut bejana.
f. Menjelaskan Kemusykilan
Ini dapat ditemukan dalam hadits berikut ini:
“Barangsiapa yang mempercayai “perhitungan”, niscaya disiksa di hari kiamat”.
Adapun sebab-sebab munculnya hadits ini adalah bahwa Aisyah meriwayatkan, ia berkata:
“Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang dihisab, niscaya ia disiksa di hari kiamat. Lalu Aisyah berkata: “Bukankah Allah berfirman: “Maka ia akan dihitung dengan perhitungan yang mudah”? Dan beliau menjawab: “Bukan, itu hanya formalitas”. Jadi, “Barangsiapa dihisab, ia akan disiksa”.
Dari uraian faedah-faedah mempelajari Asbab Wurud Al Hadits di atas dapat disimpulkan antara lain, sebagai berikut:
1. Untuk menolong memahami dan menafsirkan hadits. Sebab sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan sarana untuk mengetahui musabab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadits secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang.
2. Sebagaimana diketahui dalam lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang men-takhsiskannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhsis yang menggunakan selain sebab, harus dihilangkan. Sebab memasukkan takhsis yang terbentuk sebab ini adalah qath’i, sedang mengeluarkan takhsis sebab, adalah terlarang secara ijma’.
3. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum-hukum)
4. Untuk mentakhsiskan hukum, bagi orang yang berpedoman kaidah Ushul-Fiqih “al-‘ibratu bikhusushi’s sabab” (mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus). Biarpun menurut pendapat Ushuliyun berpedoman dengan “al-‘ibratu bi’umumi’l-lafadh, la bikhususi’s sabab”(mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada lafadz yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).

2.3 Cara mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits
Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu Asbab Wurud Al Hadits, ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Menurut penelitian Al Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadits itu ada yang sudah tercantum di dalam hadits itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum dalam hadits sendiri, tapi tercantum di hadits lain.
Menurut As-suyuthi ada tiga metode dalam mengetahui asbabul wurud:
1. Dengan mengetahui sebab yang berupa ayat Al-Quran.
2. Sebab yang berupa hadits itu sendiri.
3. Sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat

Sebagai contoh Asbab Wurud Al Hadits yang tercantum dalam hadits itu sendiri, seperti hadits Abu Dawud yang tercantum dalam kitab sunannya, yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al Khudry. Kata Abu Sa’id:
“Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW : ‘Apakah Tuan mengambil air wudhu’ dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing, dan barang-barang busuk’? Jawab Rasulullah: ‘Air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis’.”
Sebab Rasulullah saw. bersabda, bahwa air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadits itu sendiri.
Contoh Asbab Wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadits itu sendiri, tetapi diketahui dari hadits yang terdapat di lain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadits Muttafaq-‘alaih tentang niat dan hijrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar r.a:
“...Barangsiapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada yang diniatkannya saja.”
Asbab Wurud dari hadits tersebut di atas, kita temukan pada hadits yang di takhrijkan oleh At-Thabrany yang bersanad tsyiqoh dari Ibnu Mas’ud r.a ujarnya:
“Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Tetapi perempuan itu menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar itu enggan berhijrah ke Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai laki-laki itu, Muhajir Ummi Qais.”

2.4 Pembagian Asbab Wurud Al Hadits

Dengan mengikuti uraian tentang Asbab Wurud munculnya suatu hadits, dapat disimpulkan bahwa penyebab-penyebab itu terbagi dalam beberapa bagian berikut ini:

Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Qur’an
Hal ini disebabkan turunnya ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki bentuk umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus semisal yang terdapat dalam firman Allah ini:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al An’am:82)
Sementara sahabat Rasulullah saw memahami ayat ini dengan menganggap bahwasanya yang dimaksud dengan “zhulm” (dzalim) di situ adalah aniaya dan melanggar batas ajaran agama. Lantaran itulah mereka lalu mengadu kepada Rasulullah saw, maka beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah “syirik” (menyekutukan Allah).

Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Malik dalam Al Muwatha’ meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:
“Ketika turun ayat: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan dengan kezhaliman...”(QS Al An’am:82 di atas), maka para sahabat merasa berat dan berkata: “Siapa pula diantara kita yang tidak merasa mencampur adukkan keimanan dengan kedzaliman?” Lalu Rasulullah mengatakan: “Bukan itu maksudnya, tidakkah kamu sekalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada puteranya bahwa: sesungguhnya syirk itu adalah kedzaliman yang amat besar” (QS. Luqman:13)
Atau lantaran adanya kemusykilan yang membutuhkan penjelasan, semisal hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah terdahulu.

Bentuk kedua : Berupa Hadits
Ini dapat ditemukan dalam ucapan Rasulullah saw yang sulit dipahami oleh sementara sahabat, lalu beliau menjelaskannya melalui hadits lain yang menjawab kemusykilan itu. Untuk menjelaskan hal itu dikemukakan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al Hakim dari Anas ra. Katanya:
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”
Hadits yang bentuk redaksinya seperti ini sangat sulit dipahami, sebab bagaimana cara malaikat itu berbicara di dunia tentang baik dan burunya seseorang. Oleh sebab itu, sebab-sebab munculnya hadits lain di bawah ini, mengandung maksud menjelaskan kemusykilan itu.
“Dari Anas ra. Katanya: Tatkala ada prosesi jenazah lewat dihadapan beliau dan para sahabat memuji-muji kebaikan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw berkata: “Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”. Lalu lewat pulalah jenazah yang lain dan para sahabat membicarakan kejelekan orang yang meninggal itu. Maka Rasulullah saw pun berkata pula:”Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Mendengar itu para sahabat lalu bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah apa makna ucapan tuan tentang jenazah tadi? Ketika yang seorang dipuji kebaikannya dan seorang lagi disebut-sebut keburukannya, tuan mengatakan: Ya, mesti demikian, mesti demikian, mesti demikian.”
Maka Rasulullah saw menjawab:
“Memang benar Ya Abu Bakar, Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat di dunia yang berbicara melalui lisan anak-cucu Adam tentang apa yang baik dan buruk dalam diri seseorang.”

Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu.
Ini dapat ditemukan misal dalam persoalan yang berkenaan dengan As Suraid yang datang kepada Rasulullah saw ketika pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) lalu berkata kepada beliau: “Saya bernadzar manakala Allah memberikan keberhasilan kepada tuan dalam membebaskan kota Makkah, saya akan shalat di Baitul Maqdis”. Mendengar itu Rasulullah pun berkata: “Shalat di sini jauh lebih baik”. Kemudian beliau mengatakan:
“Demi dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau seandainya engkau shalat di mesjid ini, niscaya diperbolehkan”. Lalu selanjutnya beliau berkata pula: “Shalat di mesjid ini (Masjidil Haram) seratus ribu kali lipat lebih baik dibanding shalat di mesjid-mesjid lain.”

Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadits satu sama lain, maka “Wurud al Hadits” ini dapat dibagi dalam dua jenis:
 Bila Asbab Wurud al Hadits ini bersambung dengan haditsnya, maka ia dinukil dari hadits itu. Tentang ini, Al Balqini mengatakan mengatakan: semisal hadits yang berkenaan dengan pertanyaan malaikat Jibril.
 Bila “Wurud al Hadits” nya terpisah dari hadits itu, maka ia dinukil melalui jalan yang lain. Tentang ini Al Balqini mnegatakan pula : Dan keadaan semacam inilah yang mesti diperhatikan dengan cermat. Lalu dicontohkannya hadits “al-kharaj” (pajak tanah) dengan adh-dhiman (jaminan).

2.5 Sejarah Asbab Wurud Al Hadits

Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada
Kuat dengan bahwasanya ilmu ini telah ditanamkan benih-benihnya di masa sahabat dan tabi’in.
Kisah yang dituturkan oleh Az Zarkasyi dalam al Burhan-nya yang berkenaan dengan firman Allah: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh lantaran telah memakan makanan mereka dulu” (QS Al Maidah: 92) makin memperjelas kenyataan itu .
Az Zarkasyi menuturkan, disebut –sebut bahwa Qudamah bin Mazh’un dan Amr’ bin Ma’dikarib berkata: Khamr itu mubah dan mereka berdua beralasan dengan ayat tersebut di atas yang mereka ketahui sebab turunnya ayat tersebut, yang sesungguhnya menolak pendapat mereka yakni, apa yang dikemukakan oleh al Hasan dan ulama lainnya berikut ini:
“Di saat turun ayat yang mengharamkan khamr, para sahabat bertanya-tanya: “Bagaimana halnya dengan saudara-saudara kita yang telah meninggal dan mereka pernah minum khamr, sedangkan Allah telah mengemukakan bahwa khamr itu haram”. Maka Allah pun menurunkan ayat:” Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih lantaran telah memakan makanan mereka dulu” (QS. Al Maidah:92)
Bertolak dari riwayat tersebut, maka jelaslah kebenaran pernyataan As Sayuthi, yakni bahwasanya objek kajian ini merupakan salah satu di antara Ilmu-ilmu Hadits yang sejak awal telah memperoleh perhatian baik dari para ulama.
Mengenai kapan dimulainya penyusunan buku-buku yang berkenaan dengan masalah ini, maka hal itu merupakan suatu persoalan yang hanya dapat kita jawab melalui referensi-referensi yang mat langka sekali, sebab Thas Kubri Zadah penulis kitab Miftah al Sa’adah menuturkan bahwa ada beberapa karya tulis dalam disiplin ilmu ini, namun ia sendiri belum pernah melihatnya.
Hanya saja, As Sayuti menuturkan dengan menukil adz Dzahabi dan Ibnu Hajar yang menyatakan adanya beberapa obyek ini, yakni:
1. Karya Abi Hafsh al Akbari (wafat 399 H) yang sampai saat ini belum diketahui sdikitpun kecuali hanya namanya saja.
2. Karya Abu Hamid Abdul Jalil al Jubari yang juga sampai saat ini hanya diketahui namanya saja.
Dalam point yang dikemukakan oleh As Sayuti yang berkenaan dengan jenis-jenis ilmu, yakni dalam “jinis ke-89” disebut-sebut ilmu “Asbab Wurud al Hadits” (Sebab Lahirnya sebuah Hadits): Cabang ilmu ini disebutkan al Balqini dalam Mahasin al Ishtilah dan oleh Syeikhul Islam dalam an-Nukhah, dimana dalam ilmu ini ada karya Abu Hafs al Akbari dan Abu Hamid bi Kutah al Jubari, dan tidak ada yang lebih tua lagi dari karya itu.
3. Karya As Sayuti, al- Luma’ Fi Asbab Wurud al Hadits, yakni risalah yang kami edit dan kaji ini.
4. Karya Abi Hamzah al Dimayqi, al Bayan Wa at-Ta’rif Fi Asbab Wurud al Hadits asy-Syarif.




BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Asbabul Wurud : ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu.
Faedah Asbab Wurud al Hadits, antara lain mentakhsis arti umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.
Cara-cara mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits itu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan lain bagi logika.
Pembagian atau bentuk-bentuk Asbab Wurud al Hadits :
 Bentuk Pertama: Berupa Ayat Al Qur’an
 Bentuk kedua : Berupa Hadits
 Bentuk Ketiga: Merupakan persoalan yang berkenaan dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan saat itu

Memperhatikan atsar (data) yang diperoleh dari para ulama salaf, semenjak masa sahabat sampai masa kita dewasa ini, jelaslah sudah bahwa ilmu itu terhitung telah lama ada







DAFTAR PUSTAKA

 Al hafidz Jalaludin As-Sayuthi. 1406 H-1985 M. “Asbab Wurud Al-Hadits Proses Lahirnya Sebuah Hadits”. Bandung: Pustaka
 Fatchur Rahman, 1974.”Ikhtisar Musthalahu’l Hadits”.Bandung:PT Al Ma’arif
 Mudasir &Maman Abdul Djaliel.1999.”Imu Hadits”.Badung:CV.Pustaka setia
 Munzier Suparta&Utang Ranuwijaya.1996.”Ilmu Hadits”.Jakarta:PT. Raja Gafindo Persada
 Muhamad Ahmad&M.Mudzakir.2000.”Ulumul Hadis”.Bandung:CV Pustaka Setia
 http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--sitifatima-2712
 http://insansejati.com/ilmu-hadits/54-asbabul-wurud.html
 http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/56
 http://kampungsunnah.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar